Pagi ini saya nyesek dan marah. Marah sekali.
Sebelum berangkat sekolah, Rafi, anak saya, nanya, “Ibuk inget Rara temen SD-ku nggak? Yang rumahnya di blok sebelah, yang bapaknya polisi?”
Tentu saya ingat. Sebetulnya tadi malem mau ngobrol soal ini dengan anak saya. Tapi karena saya nyampe rumah udah cukup malam, saya gak jadi ngomong sama Rafi.
Rara, teman SD anak saya ini, kemarin siang meninggal dunia. Kecelakaan. Dia diboncengin naik motor oleh temen sekolahnya. Entah bagaimana, dua bocah ini jatuh dari motor, dan tubuh Rara –saya tidak sanggup membayangkannya :(– terlindas sebuah truk yang sedang lewat.
Innalillahi wa innailaihi rojiun..
Yang membuat saya marah, adalah kenapa para orangtua masih saja mengizinkan anak-anak mereka mengendarai motor. Udah tau mereka belum punya SIM. Belum cukup umur. Kenapa sebagian orangtua malah terlihat bangga dan memamerkan “Wah, anakku sih udah berani naik motor ke mana-mana.”Why, people? Why?!
Di suatu acara pengajian di lingkungan rumah saya, saya bertemu dengan seorang ibu yang anaknya teman sekelas Rafi waktu SMP. Kami ngobrol, saling bertanya kabar, saling bertukar cerita tentang anak-anak kami yang dulunya teman sekelas.
Beliau bertanya, “Rafi ke sekolah naik apa, bu?”
“Naik angkot. Kalo si A (nama anak si ibu itu) naik apa? Naik angkot atau dianter papanya?”
“Nggak. Dia naik motor, soalnya sekolahnya jauh.”
Langsung saya cecar, dong. Saya pengen tau kenapa dia membiarkan anaknya yang masih 15 tahun bawa motor sendiri ke sekolah. Bukankah belum cukup umur? Bukankah KTP dan SIM pun dia belum punya? Kalo terjadi apa-apa, gimana?
Jawabannya bikin saya jengkel setengah mati.
“Aduh, Bu. Mau nggak dikasih gimana? Umurnya memang masih 15, tapi badannya udah tinggi banget. Udah 170, lho! Lebih tinggi dari aku dan papanya.”
Lah! Ok. Udah 170 tingginya. Kakinya udah nyampe ke tanah kalo naik motor. Tapi… so what? Still, he’s only 15! Tetep aja masih anak-anak. Tetep aja secara hukum dia belum boleh mengendarai motor karena belum punya SIM.
Waktu saya cerita bahwa Rafi tidak saya izinkan bawa motor karena masih 15 taun, belum punya SIM, dan bahwa membiarkannya mengendarai motor artinya saya mengajari dia bahwa melanggar hukum itu boleh-boleh aja, beliau menjawab, “yaaa kan kebijakan masing-masing orangtua beda-beda ya, bu.”
Soal SIM, si tetangga saya ini berkilah. “Iya, sebentar lagi mau dibikinin SIM, kok, sama papanya.”
Hah. Dibikinin. Maksudnya mau ‘nembak’? ‘Beli’ SIM lewat jalur belakang? Si ibu itu bicara seolah-olah ‘nembak’ SIM itu hal yang biasa. Bukan pelanggaran hukum. Bukan bentuk paling sederhana –dan umum– dari korupsi.
Kembali ke soal Rara. Saya marah kepada para bapak dan ibu yang mengizinkan (bahkan bangga) anaknya mengendarai motor ke sekolah. Saya marah, karena kita menganggap itu hal biasa. Karena kebanyakan anak sekolah naik motor, maka anak kita pun boleh naik motor. Karena kalo mereka ketemu polisi juga belum tentu ditilang, paling cuma diingatkan dengan halus seperti sering saya lihat di acara tivi, kita menganggap naik motor tanpa punya SIM itu tidak apa-apa.
Kalau terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa seorang anak 15 tahun begini, apa mereka masih menganggap ini biasa dan tidak apa-apa? Kejadian seperti ini bukan yang pertama. Udah sering saya baca dan dengar berita kecelakaan yang melibatkan pengendara motor di bawah umur. Apa kita belum kapok juga? Apakah kita memang sebebal itu?
Saya juga marah kepada sekolah-sekolah yang membiarkan siswanya bawa motor ke sekolah. Kenapa tidak ada aturan tegas untuk itu? Kenapa anak-anak itu tidak dilarang membawa motor ke sekolah? Kenapa anak-anak kita tidak diedukasi tentang aturan dan bahayanya naik motor?
Kepala saya pening memikirkan banyak ‘kenapa’.
Selamat jalan, Rara. Maafkan kami ya, Nak. Maafkan kami… :(
http://simbokvenus.com/2015/11/06/selamat-jalan-rara-maafkan-kami/
0 komentar :
Posting Komentar