Dianggap membahayakan, pemerintah kolonial Belanda memenjarakannya ke Digul. Menemukan Tuhan dalam pembuangan.
Oleh: ARYONO
Chalid Salim (tengah) diapit Haji Agus Salim dan istinya (duduk).
Foto: repro "Lima Belas Tahun Digul" karya Chalid Salim.
SEKALI waktu, seorang Belanda pernah bertanya kepada Haji Agus Salim, “Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama Katolik?”.Foto: repro "Lima Belas Tahun Digul" karya Chalid Salim.
“God zij dank, Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan saya,” jawabnya santai.
“Mengapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” tanya orang Belanda itu semakin keheranan.
“Dia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan,” tukasnya kembali.
Adik Haji Agus Salim yang dimaksud orang Belanda itu adalah Chalid Salim. Selama lima belas tahun, Chalid menjadi Digulis karena dituduh komunis. Dia dijatuhi hukuman pembuangan ke Digul karena tulisannya yang tajam di Pewarta Deli, atas sikap polisi kolonial dalam menumpas pemberontakan komunis tahun 1926.
Sebelum di Pewarta Deli, Chalid memulai karir jurnalistiknya dari mingguan Halilintar Hindia di Pontianak, yang banyak mengadopsi asas PKI. Lalu pindah ke majalah Proletar di Surabaya yang juga "merah."
Pada Juli 1928, vonis dijatuhkan kepada Chalid, “Sebagai orang yang ‘berbahaya bagi ketenteraman dan ketertiban negeri’ maka saya dibuang ke Digul sebagai nomor 925,” seperti ditulisnya dalam memoar Lima Belas Tahun Digul. Meski ayahnya, Sutan Mohammad Salim yang bekerja sebagai anggota Landraad (pengadilan negeri, red) Medan berupaya membebaskannya, Chalid tetap dibuang.
Selama di Digul, dia mulai meninggalkan sikap ateisnya. Mulanya dia menggandrungi ajaran teosofi, dengan membaca karya Annie Besant, Krishnamurti dan W.C. Leadbeater. Namun kemudian tertarik pada Katolik, sebab kedekatannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, Digulis yang terlibat peristiwa kapal Zeven Provincien, yang sudah lebih dulu dibaptis dalam Katolik Roma.
Chalid akhirnya berkenalan dengan pastor Mauwese. Dia pun mulai mengakrabi aktivitas gereja. Keyakinannya semakin kuat untuk memeluk agama Katolik. Dia pun meminta Mauwese mengajarkan langkah untuk masuk Katolik. Namun Mauwese tak mau begitu saja meluluskan permintaan Chalid beralih iman.
“Tidak sadarkah Anda, tuan Salim, konsekuensi dari ini? Ada kemungkinan anak-keluarga Anda yang menganut Islam akan memutuskan segala hubungan kekeluargaan,” tanya Mauwese.
Chalid pun langsung menerangkan bahwa dia telah berpikir matang. Dia pun mulai belajar kathekismus. Mauwese juga menghadiahinya buku karangan Thomas A. Kempis yang berjudul Imitatione Christi, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Maka, pada 26 Desember 1942, Chalid dibaptis oleh pastor Mauwese. Namanya pun bertambah menjadi Ignatius Fransiscus Michael Chalid Salim.
Langkah Chalid ini ternyata didukung oleh sanak keluarganya. Saat Haji Agus Salim menemuinya di Belanda, Agus Salim justru senang mendengar Chalid memeluk Katolik.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” ujar Agus Salim kepada Chalid.
0 komentar :
Posting Komentar