Layaknya toko serba ada, Jakarta menawarkan segalanya. Sebagai
pusat pemerintahan, pendidikan, bisnis dan keuangan, juga hiburan,
Jakarta adalah magnet yang menarik perhatian warga kota-kota lain serta
warga perdesaan. Karena itu, para pendatang yang membanjiri Jakarta
bukan hanya terjadi saat arus balik usai mudik Lebaran, melainkan setiap
hari.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah penduduk Jakarta meningkat sekitar 1,4% setahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional yang sekitar 1,3%. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini disebabkan oleh urbanisasi. Angka ini tak berubah selama Jakarta -dan wilayah sekelilingnya: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek)- masih dianggap warga perdesaan sebagai satu-satunya tujuan mencari penghidupan yang lebih baik.
Selama belum terjadi pemerataan pembangunan kota-desa, urbanisasi tetap tinggi. Jabodetabek tetap akan jadi idola. Saat ini, jumlah penduduk Jakarta sudah menembus 10 juta dan Bodebatek sekitar 18 juta atau 28 juta untuk Jabodetabek. Jauh di atas penduduk Malaysia, 26 juta.
Tekanan terhadap Jabodetabek perlu segera diakhiri untuk mengurangi masalah sosial ekonomi di kawasan ini dan membuat pembangunan lebih merata. Pertama, pembangunan perdesaan, kota-kota, maupun kota provinsi di mana pendatang berasal.
Kedua, penegakan hukum di Jabodetabek yang meminimalkan potensi kehadiran para urbanit menjadi beban kota. Upaya pertama butuh waktu panjang.
Kita belum bisa merasakan satu-dua tahun ke depan hasil dari penggelontoran dana desa. Demikian juga implementasi dari UU Desa rasanya tak bisa dinikmati dalam waktu dekat. Meski demikian, pembangunan perdesaan adalah harga mati menekan urbanisasi.
Kita mendukung berbagai kebijakan kementerian di kabinet sekarang yang mengupayakan rakyat memiliki lahan garapan, meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, serta mendorong bertumbuhnya industri mikro, kecil, dan menengah di perdesaan. Dana desa yang menurut undangundang akan mencapai Rp 1 miliar per desa perlu direalisasikan dengan tepat arah.
Program pendidikan dan keterampilan merata juga bakal melengkapi kualitas sumber daya manusia perdesaan. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan serta terdidik mempunyai banyak pilihan untuk mencari kerja selain Jakarta.
Seandainya kemudian bekerja di Jakarta, maka mereka harus siap berkompetisi dengan tenaga kerja berkualitas lainnya. Yang pasti, kehadiran mereka tidak sama dengan pendatang yang tanpa keterampilan dan pendidikan.
Persoalan selama ini berkait urbanisasi adalah warga yang datang adalah mereka yang tak memiliki pekerjaan, tempat tinggal, tidak terdidik, dan keterampilan terbatas. Mereka menjadi beban Jakarta ketika menjadi pedagang kaki lima di trotoar, membangun bedeng di jalur hijau atau bantaran kali, bahkan menggelandang atau menjadi penjahat karena tak punya penghasilan.
Kelompok yang merasa terpinggirkan di hiruk-pikuk metropolitan ini juga sangat gampang disulut untuk membuat kerusuhan. Masalah sosial ini dapat ditekan dengan penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan konsisten. Jakarta, dan wilayah Bodetabek, dilarang menolak pendatang.
Setiap warga negara berhak hidup di mana pun di Bumi Pertiwi. Namun, Pemda setempat tidak dilarang menegakkan aturan yang memungkinkan para penyandang masalah sosial hengkang.
Pertama adalah penertiban dokumen kependudukan. Para pendatang tak perlu dikejar-kejar. Terima mereka dengan senyum dan tangan terbuka.
Operasi Yustisi bukan lagi razia tempat kos melainkan usaha pendataan. Dengan demikian akan terpetakan potensi para pendatang berikut domisili serta bila mereka nanti membuat masalah. Data ini bakal akurat bila Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mulai dari tingkat provinsi hingga kelurahan melaksanakannya dengan benar dan tertib.
Kedua, tindakan represif berupa penertiban gubuk liar, pedagang kaki lima atau razia terhadap para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan pengemis. Penertiban semacam ini akan membuat siapa pun berpikir bahwa tidak mudah hidup di metropolitan. Jabodetabek tidak lagi dianggap sebagai tempat di mana “semua hal bisa menjadi uang” termasuk hanya dengan menengadahkan tangan.
Ketiga, program pemulangan para penyandang masalah sosial selama ini harus terus dievaluasi, apakah mereka kembali lagi atau sebaliknya. Bahkan, perlu dibuat terobosan bagaimana membuat kabar “seramnya Ibukota” masuk dalam benak mereka yang tak punya keterampilan dan pendidikan cukup.
Penegakan hukum tadi harus disinergikan dengan daerah asal pendatang serta antarwilayah Jabodetabek. Dengan demikian urbanisasi dapat terkendali. Bagi pendatang tanpa keterampilan dan pendidikan, Jakarta tak jadi idola lagi. ***
http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/agar-jakarta-tak-lagi-jadi-idola/92061
Dalam satu dekade terakhir, jumlah penduduk Jakarta meningkat sekitar 1,4% setahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional yang sekitar 1,3%. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini disebabkan oleh urbanisasi. Angka ini tak berubah selama Jakarta -dan wilayah sekelilingnya: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek)- masih dianggap warga perdesaan sebagai satu-satunya tujuan mencari penghidupan yang lebih baik.
Selama belum terjadi pemerataan pembangunan kota-desa, urbanisasi tetap tinggi. Jabodetabek tetap akan jadi idola. Saat ini, jumlah penduduk Jakarta sudah menembus 10 juta dan Bodebatek sekitar 18 juta atau 28 juta untuk Jabodetabek. Jauh di atas penduduk Malaysia, 26 juta.
Tekanan terhadap Jabodetabek perlu segera diakhiri untuk mengurangi masalah sosial ekonomi di kawasan ini dan membuat pembangunan lebih merata. Pertama, pembangunan perdesaan, kota-kota, maupun kota provinsi di mana pendatang berasal.
Kedua, penegakan hukum di Jabodetabek yang meminimalkan potensi kehadiran para urbanit menjadi beban kota. Upaya pertama butuh waktu panjang.
Kita belum bisa merasakan satu-dua tahun ke depan hasil dari penggelontoran dana desa. Demikian juga implementasi dari UU Desa rasanya tak bisa dinikmati dalam waktu dekat. Meski demikian, pembangunan perdesaan adalah harga mati menekan urbanisasi.
Kita mendukung berbagai kebijakan kementerian di kabinet sekarang yang mengupayakan rakyat memiliki lahan garapan, meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, serta mendorong bertumbuhnya industri mikro, kecil, dan menengah di perdesaan. Dana desa yang menurut undangundang akan mencapai Rp 1 miliar per desa perlu direalisasikan dengan tepat arah.
Program pendidikan dan keterampilan merata juga bakal melengkapi kualitas sumber daya manusia perdesaan. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan serta terdidik mempunyai banyak pilihan untuk mencari kerja selain Jakarta.
Seandainya kemudian bekerja di Jakarta, maka mereka harus siap berkompetisi dengan tenaga kerja berkualitas lainnya. Yang pasti, kehadiran mereka tidak sama dengan pendatang yang tanpa keterampilan dan pendidikan.
Persoalan selama ini berkait urbanisasi adalah warga yang datang adalah mereka yang tak memiliki pekerjaan, tempat tinggal, tidak terdidik, dan keterampilan terbatas. Mereka menjadi beban Jakarta ketika menjadi pedagang kaki lima di trotoar, membangun bedeng di jalur hijau atau bantaran kali, bahkan menggelandang atau menjadi penjahat karena tak punya penghasilan.
Kelompok yang merasa terpinggirkan di hiruk-pikuk metropolitan ini juga sangat gampang disulut untuk membuat kerusuhan. Masalah sosial ini dapat ditekan dengan penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan konsisten. Jakarta, dan wilayah Bodetabek, dilarang menolak pendatang.
Setiap warga negara berhak hidup di mana pun di Bumi Pertiwi. Namun, Pemda setempat tidak dilarang menegakkan aturan yang memungkinkan para penyandang masalah sosial hengkang.
Pertama adalah penertiban dokumen kependudukan. Para pendatang tak perlu dikejar-kejar. Terima mereka dengan senyum dan tangan terbuka.
Operasi Yustisi bukan lagi razia tempat kos melainkan usaha pendataan. Dengan demikian akan terpetakan potensi para pendatang berikut domisili serta bila mereka nanti membuat masalah. Data ini bakal akurat bila Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mulai dari tingkat provinsi hingga kelurahan melaksanakannya dengan benar dan tertib.
Kedua, tindakan represif berupa penertiban gubuk liar, pedagang kaki lima atau razia terhadap para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan pengemis. Penertiban semacam ini akan membuat siapa pun berpikir bahwa tidak mudah hidup di metropolitan. Jabodetabek tidak lagi dianggap sebagai tempat di mana “semua hal bisa menjadi uang” termasuk hanya dengan menengadahkan tangan.
Ketiga, program pemulangan para penyandang masalah sosial selama ini harus terus dievaluasi, apakah mereka kembali lagi atau sebaliknya. Bahkan, perlu dibuat terobosan bagaimana membuat kabar “seramnya Ibukota” masuk dalam benak mereka yang tak punya keterampilan dan pendidikan cukup.
Penegakan hukum tadi harus disinergikan dengan daerah asal pendatang serta antarwilayah Jabodetabek. Dengan demikian urbanisasi dapat terkendali. Bagi pendatang tanpa keterampilan dan pendidikan, Jakarta tak jadi idola lagi. ***
http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/agar-jakarta-tak-lagi-jadi-idola/92061
0 komentar :
Posting Komentar